Dede Farhan Aulawi, Jangan Ada Pemikiran Memisahkan TNI dengan Rakyat
BANDUNG, faktaperistiwanews.co.id – Salah seorang pahlawan Indonesia yang penuh dengan ketauladanan adalah Panglima Besar Jenderal Sudirman yang telah mewariskan apa arti dari nilai – nilai juang yang tulus ikhlas dan tidak pernah menyerah. Semangat juangnya yang bisa digali dalam berbagai literatur sejarah perjalanan bangsa perlu terus digetuktularkan agar seluruh elemen bangsa bisa menjiwainya. Salah satu konsep perang yang telah diwariskan pada bangsa ini adalah Strategi Perang Gerilya. Gerilya merupakan cara berperang sembunyi-sembunyi dan menyerang secara tiba – tiba dengan tujuan untuk memecah konsentrasi musuh. Meskipun saat itu beliau sedang sakit, namun semangat juangnya tak pernah pudar dan terus bersatu dengan rakyat, hingga saat kondisi kesehatannya menurun dan tidak kuat berjalan, beliau tetap dan terus berjuang meskipun harus ditandu hingga berhasil memukul mundur Belanda “, ujar Pemerhati Pertahanan Dede Farhan Aulawi di Bandung, Selasa (19/10).
Jenderal Sudirman merupakan Panglima TNI yang pertama yang patut ditauladani dan dicontoh dalam melaksanakan tugas sehari-hari dan dalam kepemimpinan yang berprinsip pada keberanian yang tulus dan ikhlas. Semua diabdikan untuk kepentingan bangsa dan Negara. Dan jangan lupa juga, bahwa beliau juga seorang guru dan kyai yang senantiasa mewariskan nilai – nilai kejuangan yang luar biasa. Tidak hanya pada masanya, tetapi nilai – nilai tersebut juga bisa berlaku sampai saat ini.
Itulah sebabnya kemanunggalan TNI dan rakyat itu harus selalu dipertahankan. Jangan pernah ada pemikiran untuk memisahkan TNI dan rakyat. Sejarah panjang perjalanan bangsa ini menunjukkan garis yang tegas bahwa TNI selalu bersama – sama dengan rakyat, karena TNI sendiri lahir dari rakyat dan besar di tengah – tengah rakyat serta berjuang bersama rakyat. Dengan demikian, maka ada ikatan bathin yang takkan pernah terputus bahwa denyut nadi TNI selalu seiring dan sejalan dengan kehendak rakyat. Itulah hakikat dan jatidiri sejarah perjuangan. Bukan hanya di masa perjuangan saja, tetapi dalam mengisi pembangunan pasca kemerdekaan pun TNI dan rakyat harus selalu bersama.
Kemudian Dede juga menyampaikan bahwa sebagai anak kandung rakyat Indonesia, TNI seyogyanya senantiasa peka dan sensitif dalam mendengar keluh kesah dan kesulitan rakyat. TNI harus tampil untuk membela dan melindungi rakyat, baik kesulitan yang tersurat maupun yang tersirat. Satu tetes air mata rakyat yang jatuh membasahi bumi pertiwi, harus disikapi oleh TNI untuk mencarikan solusi. Rakyat adalah orang tuanya, rakyat adalah saudara kandungnya. Ketika orang tua dan saudara kandungnya ditimpa berbagai kesulitan, tidak mungkin TNI diam saja. Inilah salah satu contoh dari ketauladanan nilai – nilai juang panglima besar jenderal Sudirman untuk kita semua. Ujarnya.
Kemanunggalan TNI dan rakyat adalah perjalanan panjang sejarah perjuangan bangsa, sekaligus inti pertahanan negara. TNI diharapkan akan terus bersama rakyat dalam mengisi kemerdekaan dan program – program pembangunan. Kebersamaan antara TNI dan Rakyat adalah kekuatan hakiki dalam menjalankan tugas pokok TNI. Jangan pernah ada jarak antara TNI dengan rakyat. Jadikanlah mako – mako TNI sebagai “rumah rakyat”, tempat rakyat berteduh dan memohon perlindungan dari berbagai ancaman. Tidak mungkin TNI bisa tidur dengan tenang, saat rakyatnya masih ada yang gelisah kelaparan, menghadapi kesulitan dan penuh kekhawatiran.
Itulah sebabnya jati diri TNI selain sebagai tentara profesional, adalah sebagai tentara pejuang, tentara nasional dan tentara rakyat. TNI dalam kiprah pengabdiannya senantiasa menomorsatukan kepentingan rakyat, sesuai slogan “Terbaik Bagi Rakyat, Terbaik Bagi TNI” atau “Bersama Rakyat TNI Kuat, Bersama TNI Rakyat Sejahtera” dengan terus berupaya mewujudkan Kemanunggalan TNI-Rakyat sebagai senjata ampuh yang dahsyat dalam Sistem Pertahanan Semesta.
Pembinaan Teritorial (Binter) merupakan salah satu bentuk konkrit kegiatan TNI (khususnya TNI AD) untuk mengetahui kondisi masyarakat. Programnya bisa dimanifestasikan dalam berbagai bentuk dan format, tetapi hakikatnya ada langkah konkrit untuk merasakan apa yang dihadapi oleh rakyat. Oleh karenanya Binter TNI perlu terus dilakukan untuk memperkuat ikatan bathin yang selama ini sudah terjalin. Menjalankan fungsi binter, sesungguhnya merupakan satu kesatuan dalam menjalankan fungsi lainnya seperti fungsi pertempuran maupun fungsi pembinaan postur.
Merujuk pada UU No.3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan UU No.34 tahun 2004 tentang TNI yang mewadahi Binter dapat dilakukan oleh prajurit TNI AD dalam interaksinya dengan masyarakat. Secara spesifik paradigma Binter termasuk sebagai salah satu fungsi utama TNI AD yang termaktub dalam UU No.3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, Pasal 1 Ayat 2 menyatakan bahwa sistem pertahanan negara adalah sistem pertahanan yang bersifat semesta yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumberdaya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman.
Hal tersebut bertujuan untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman. TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan secara konsekuen menjalankan tugas berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara yang secara eksplisit termaktub dalam UU No.34 tahun 2004 pasal 7 ayat 2 huruf ‘b’ butir 8 yang menyatakan “memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya secara dini sesuai dengan sistem pertahanan semesta”. Kedua Undang- undang tersebut adalah pijakan legitimasi yang sah bagi TNI khususnya TNI AD untuk melaksanakan kegiatan Binter sehingga dapat menetapkan Binter sebagai salah satu fungsi utama TNI AD.
Kemudian merujuk pada doktrin Kartika Eka Paksi yang disahkan dengan keputusan Panglima TNI nomor KEP/184/II/2018 tanggal 28 Februari 2018 menyebutkan bahwa Pembinaan Teritorial (Binter) merupakan salah satu fungsi utama TNI AD, sehingga setiap Satuan jajaran TNI AD dalam situasi dan kondisi apapun harus melaksanakan Binter guna mendukung tugas pokoknya, terutama dalam penyiapan Ruang, Alat dan Kondisi (RAK) Juang yang tangguh guna penyelenggaraan Sistem Pertahanan Semesta (Sishanta). Penyelenggaraan Sishanta agar dapat dipersiapkan secara dini, diperlukan langkah dan upaya pembinaan teritorial yang terencana, terukur dan terarah, serta berkelanjutan, dengan demikian kondisi pertahanan negara akan dapat mewujudkan daya dukung yang optimal bagi kesinambungan pembangunan di setiap wilayah/daerah. Binter sebagai strategi yang dipilih dalam pemberdayaan wilayah pertahanan telah teruji dalam kurun waktu awal pembentukan Tentara Indonesia sampai dengan saat ini dan diprediksi masih tetap relevan di masa depan.
“ Kita mungkin masih ingat adagium latin yang berbunyi “Si Vis Pacem Para Bellum” yang artinya kurang lebih “Jika mendambakan perdamaian, bersiap-siaplah menghadapi perang“. Hal ini sesungguhnya menyiratkan sebuah pesan diplomatis bahwa keadaan aman, damai dan tentram tidaklah bersifat abadi, karena suatu waktu bisa timbul konflik atau peperangan.Gelar kekuatan Satuan Komando Kewilayahan yang tersebar di seluruh wilayah NKRI menjadi salah satu pertimbangan bahwa Binter sangat diperlukan sebagai bagian sistem peringatan dini bagi pertahanan negara maupun berperan sebagai sandaran logistik wilayah yang sudah terbina tatkala “perang berlarut” terjadi “, ungkap Dede.
Perang selalu berubah, seluruh pihak yang berperang terus belajar dan beradaptasi, namun saat ini perang berubah dengan cepat dan dengan skala yang lebih besar dibanding sebelumnya. Perubahan tersebut tidak hanya terjadi dalam hal bagaimana perang dilakukan, namun juga siapa yang berperang dan untuk apa mereka berperang dan saat ini sudah memasuki “Perang Generasi keempat”. Perang generasi keempat tidak berusaha untuk menang dengan cara mengalahkan pasukan militer pihak musuh, tapi justru menyerang kemauan politik musuh dengan menggabungkan antara taktik gerilya dengan pembangkangan sipil serta jaringan ikatan sosial, budaya dan lain – lain, melalui aksi kampanye disinformasi, narasi – narasi kontra intelijen, hoax dan rangkaian inovasi politik.
“ Mungkin kita juga ingat teori perang Karl Von Clausewitz tentang gagasan “Paradoxical Trinity”, yaitu politik pemerintah, kualitas tentara dan sikap masyarakat. Ketiganya merupakan komponen yang memainkan peran yang sama pentingnya dalam perang. Rakyat merupakan pihak yang terkena dampak langsung , militer yang berurusan dengan pelaksanaan perang, dan pemerintah yang berkepentingan dengan tujuan perang. Mengacu pada teori tersebut, latar belakang dan pengalaman bangsa sendiri menjadi pedoman utama yang melatarbelakangi mengapa Binter harus dijalankan.Binter merupakan upaya mencapai prakondisi ketangguhan dan kekuatan kehidupan bangsa yang bersatu, mandiri, hebat dan madani. TNI saat ini tidak hanya dituntut meningkatkan profesionalisme tetapi juga perekat persatuan bangsa, sehingga perlu bersinergi dengan seluruh komponen bangsa “, pungkasnya.(red)