Bandung || faktaperistiwanews.co – Di era operasi militer modern, ruang angkasa bukan lagi sekadar ranah ilmiah atau komersial. Ia telah menjadi domain strategis yang menentukan kemampuan intelijen, komunikasi, dan kelangsungan operasi militer. Negara kepulauan seperti Indonesia memiliki kerentanan dan kebutuhan unik: wilayah laut yang luas, keterbatasan infrastruktur wilayah terpencil, dan meningkatnya ketergantungan pada data real-time untuk pengamanan kedaulatan serta respons bencana. Menimbang kebutuhan satelit pertahanan harus dilakukan dengan keseimbangan antara manfaat operasional, biaya, kedaulatan teknologi, dan risiko geopolitik.
Fungsi Inti Satelit Pertahanan
- Intelijen, Pengintaian, dan Pengawasan (ISR). Satelit EO/IR dan SAR menyediakan gambaran situasi (bukan hanya gambar) berulang di area strategis—penting untuk deteksi kapal, pergerakan pasukan, dan verifikasi klaim. Keunggulan ISR memberi kecepatan keputusan militer dan sipil.
- Komunikasi yang aman dan tahan gangguan. Satelit militer menyediakan jalur komunikasi yang terenkripsi dan tahan-jamming untuk komando-kendali, terutama saat infrastruktur darat terganggu, khususnya relevan bagi negara kepulauan.
- PNT (Positioning, Navigation, Timing). Layanan penentuan posisi dan timing untuk artileri presisi, navigasi kapal, dan operasi jaringan sinkron. Ketergantungan pada layanan komersial/publik (mis. GNSS) menimbulkan kerentanan strategis.
- Deteksi awal dan peringatan misil / ancaman strategis. Sensor inframerah di orbit dapat mendeteksi peluncuran rudal dan memberi waktu respons bagi sistem pertahanan udara.
- Space Domain Awareness (SDA). Mengawasi lingkungan orbital untuk mendeteksi ancaman terhadap aset nasional di luar angkasa (jamming, manuver mencurigakan, debris) — aspek yang makin penting saat aktor negara lain menunjukkan perilaku “hostile” di ruang angkasa.
Model kapasitas : dual-use vs satelit militer khusus
- Dual-use (sipil-militer): Lebih murah, cepat, dan mendukung pembangunan industri domestik. Namun, saat konflik, ketersediaan bisa terhambat dan perlindungan terhadap gangguan lebih rendah. Indonesia telah mengembangkan satelit nasional (contoh: satelit observasi dan telekomunikasi yang dikelola BRIN/LAPAN sebelumnya), yang bisa dimodifikasi untuk kebutuhan pertahanan tertentu.
- Satelit militer khusus: Dirancang dengan proteksi antijamming, enkripsi, kemampuan taktis low-latency, dan redundansi, tetapi biaya, kompleksitas, dan kebutuhan dukungan industri lebih tinggi. Banyak negara mengembangkan perpaduan keduanya dalam arsitektur berlapis.
Biaya, industri, dan kedaulatan teknologi
Investasi satelit bukan sekadar peluncuran, tetapi mencakup desain, manufaktur, peluncuran, ground segment, operator, dan siklus hidup. Mengembangkan kapabilitas peluncuran dan produksi domestik meningkatkan kedaulatan, mengurangi ketergantungan pada pihak asing, serta menumbuhkan ekosistem teknologi. Namun, langkah ini memerlukan kebijakan jangka panjang, investasi sumber daya manusia, dan kerja sama internasional yang selektif. Kondisi Indonesia pasca-merger lembaga ruang angkasa menuntut penataan ulang strategi dan penguatan kemampuan nasional.
Ancaman kontra-satelit dan kebutuhan ketahanan
Ruang angkasa kini juga arena persaingan kekuatan besar: jamming, laser dazzlers, serangan siber, hingga uji coba antisatelit yang menghasilkan debris. Konsekuensinya, arsitektur satelit pertahanan harus mengutamakan resiliency: konstelasi kecil redundan (many smallsats), kemampuan manuver, hardening elektronik, dan integrasi SDA untuk deteksi dini serangan terhadap aset orbit. Laporan dan peringatan dari aktor internasional menunjukkan peningkatan aktivitas “hostile” yang menuntut respons kebijakan dan teknis.
Aspek hukum, etik, dan diplomasi
Pengembangan kapabilitas pertahanan di luar angkasa memerlukan peta hukum, hukum ruang angkasa internasional, komitmen non-proliferasi, dan norma perilaku. Negara harus menyeimbangkan kebutuhan keamanan dengan komitmen untuk menjaga keberlanjutan orbit (mengurangi debris) dan membina kerja sama regional (mis. berbagi SDA) agar menurunkan risiko eskalasi.
Rekomendasi Kebijakan
- Adopsi arsitektur berlapis (hybrid): gabungkan satelit dual-use berkualitas tinggi dengan sejumlah satelit militer khusus untuk fungsi kritis (komunikasi aman, ISR taktis, PNT cadangan).
- Fokus pada ketahanan dan SDA: kembangkan kemampuan deteksi dan mitigasi ancaman ruang angkasa serta strategi redundansi (konstelasi banyak satelit kecil).
- Bangun rantai nilai domestik: investasi R&D, fasilitas manufaktur, dan kapasitas peluncuran jangka menengah, disertai kerja sama teknologi terpilih.
- Kerangka hukum dan norma operasional: perbarui undang-undang dan prosedur untuk operasi sipil-militer di ruang angkasa, dan aktif dalam diplomasi ruang angkasa regional.
- Penganggaran bertahap dan berbasis kemampuan: mulai dari kemampuan yang risikonya paling besar (komunikasi tahan gangguan, ISR maritim, dan SDA) lalu kembangkan ke fungsi lanjutan.
Jadi, menimbang kebutuhan satelit pertahanan bukan soal mengejar teknologi semata, melainkan merancang kebijakan holistik yang menyelaraskan tujuan strategis, ketahanan operasional, kemampuan industri domestik, dan komitmen terhadap tata kelola ruang angkasa. Untuk negara kepulauan, keputusan ini berimplikasi langsung pada kedaulatan maritim, kesiapsiagaan bencana, dan posisi geopolitik regional. Dengan pendekatan berlapis, bertahap, dan berfokus pada resiliency serta kerja sama internasional terpilih, pengembangan kapabilitas satelit pertahanan dapat menjadi pilar penting dalam strategi keamanan nasional.(Red)
