Bandung | faktaperistiwanews.co – Dalam kegiatan empiris setiap manusia bisa menabur sejuta benih harapan, namun fakta yang terjadi tidak selalu sesuai keinginan. Adanya gap antara harapan dan kenyataan perlu dijembatani oleh sikap ikhlas dan syukur sehingga nilai spiritualitas kita bisa tetap ajeg dan tenang dalam mengayuh setiap roda kehidupan “, ungkap Ketum DPP PRAWITA GENPPARI Dede Farhan Aulawi di Bandung, Jum’at (8/4).
Ungkapan bijak nan puitis ini, ia ungkapkan dalam dialog sore sambil menunggu buka puasa. Mungkin banyak pembaca yang belum tahu bahwa seorang Dede Farhan Aulawi merupakan sosok sastrawan kontemporer dimana ia sering menyisipkan nilai – nilai spiritualitas dari setiap bait puisinya. Bahkan sekitar 14 tahun yang lalu karya – karya puisi nya banyak tercecer di jagat maya sehingga ia dikenal dengan sebutan ‘PENYAIR SEJUTA UMAT’. Namun seiring dengan berjalannya waktu, ia mulai rehat dari aktivitas penyair formilnya karena seabrek tugas dan kegiatan yang mewarnai perjalanan hidupnya.
Menurutnya, membangun fondasi ikhlas tidaklah semudah mengucapkannya karena ia butuh proses dan tempaan berbagai ujian dan cobaan. Tidak mungkin memiliki ketangguhan sikap mental yang ikhlas jika hidupnya datar – datar saja. Oleh karenanya, setiap terpaan kesulitan, penderitaan ataupun kepedihan, pada hakikatnya bagian dari tempaan waktu untuk mencetak kader yang tangguh di medan pertempuran kehidupan yang sesungguhnya.
Selanjutnya ia juga menjelaskan bahwa sebagai makhluk ciptaan Allah, manusia merupakan bagian dari kesempurnaan penciptaanya yang memiliki sistem terstruktur dan terkonstruksi, sehingga di setiap lapis dimensi terdapat suatu mekanisme pengaturan yang presisi, misalnya di tingkat DNA kita mengenal mekanisme repair dan juga epigenetik. Dimana peneliti mendefinisikan epigenetik sebagai studi tentang perubahan ekspresi gen yang diwariskan (gen aktif versus gen tidak aktif) yang tidak melibatkan perubahan pada urutan DNA yang mendasarinya perubahan fenotip tanpa perubahan genotip, namun pada gilirannya memengaruhi cara sel membaca gen. Hal ini sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh Dr. Tauhid Nur Azhar.
Dimana beliau juga menjelaskan cara membaca gen yang kemudian diikuti oleh proses transkripsi dan translasi dengan dibantu oleh mekanisme transduksi yaitu serangkaian fungsi terorkestrasi yang mencerminkan harmoni utilitas yang dirancang secara cerdas dan bernas.
Gen yang merupakan buku resep dapat “memandu” proses memasak yang ditujukan untuk menghasilkan protein sebagai building block dan struktur dasar hampir semua elemen fungsional dalam tubuh manusia.
Pendekatan epigenetik yang mempengaruhi cara membaca gen, atau bagaimana gen tertentu dapat di on off kan seperti menggunakan saklar, berlangsung melalui perantaraan mekanisme metilasi DNA, modifikasi histon, dan non coding RNA.
Metilasi DNA merupakan proses biologis penambahan gugus metil kedalam susunan molekul DNA. Proses metilasi ini, dapat mengubah aktivitas suatu segmen DNA tanpa merubah sekuen dari DNA tersebut. Jika metilasi DNA terletak didaerah gen promoter maka metilasi DNA umumnya berperan sebagai penghambat transkripsi gen.
Modifikasi protein histon adalah upaya mengubah fungsi histon dengan menambahkan atau menghilangkan gugus kimia pada protein histon, sehingga akan meregulasi suatu gen apakah dapat terbuka atau tertutup.
RNA non koding berfungsi untuk mengontrol ekspresi genetik dengan cara menempel pada daerah RNA coding. Beberapa jenis non coding RNA yang berkaitan dengan epigenetik yaitu microRNA (miRNA), short interfering RNA (siRNA), piwi-interacting RNA (piRNA), long non-coding RNA (lncRNA).
Kemudian ia juga menambahkan hal yang terkait dengan kemampuan sistem tubuh manusia di level mikro untuk meregulasi berbagai fungsi secara mandiri sebagai bagian dari respon ataupun mekanisme adaptasi terhadap pengaruh lingkungan dan pemenuhan kebutuhan adalah bagian tak terpisahkan dari sebuah keadiluhungan proses penciptaan yang berciri multi manfaat (berfungsi), saling terkoneksi, dan mengandung unsur estetika secara paripurna.
Dengan demikian, maka ikhlas adalah persoalan memahami dan menerima seutuhnya. Paham bahwa segenap kenikmatan dan keindahan yang terjadi dan terintegrasi dalam hidup ini adalah semata bersumber dari Sang Maha Pencipta. Menerima sebagaimana kita tak mampu untuk menolaknya dengan berbagai cara. Menjalani dan belajar jujur untuk menikmati semua dinamika yang terjadi.
Terluka dan bahagia adalah fitrah karena kita dikaruniai kemampuan merasa (sensorik) dan berpikir menganalisa lewat fungsi kognitif yang melekat di korteks cerebri. Mensyukuri dan sabar membersamai adalah tolok uji yang pada gilirannya akan membuka platform kesadaran untuk selaras bervibrasi dengan tasbihnya semesta. Akhirnya berbagai fungsi yang berkelindan antara membangun dan memperbaiki serta menyempurnakan seperti epigenetik, membuat kita mau terus berusaha dan berdoa sebagai bukti nyata keikhlasan dalam memahami dan menerima bahwa kita senantiasa dikaruniai kemampuan untuk berubah dan berkembang menjadi manusia yang selalu lebih baik di kurun waktu yang kita lalui sebagai bentuk rasa syukur terhadap nikmat umur.
” Tidak ada yang langsung jadi dari ikhtiar manusia. Semua pasti butuh proses agar kita bisa matang secara alami. Bukan karena karbitan atau rekayasa sistem sosial, melainkan terpaan takdir dari setiap langkah yang memang harus kita jalani “, pungkas Dede mengakhiri perbincangan sore karena waktu sudah mau buka puasa.(yud)