Bandung || faktaperistiwanews.co – Dalam perjalanan pembangunan nasional, istilah ekonomi kerakyatan kerap digaungkan oleh berbagai pihak, terutama oleh para politisi. Namun, dalam praktiknya, banyak retorika yang berhenti pada tataran basa-basi politik tanpa diiringi langkah konkret yang berpihak pada rakyat kecil. Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), yang seharusnya menjadi pilar utama ekonomi rakyat, seringkali hanya dijadikan simbol atau alat politik untuk meraih simpati masyarakat, bukan benar-benar diperkuat secara struktural dan berkelanjutan.
Secara konseptual, ekonomi kerakyatan menempatkan rakyat sebagai pelaku utama kegiatan ekonomi. Sistem ini menekankan pemerataan, keadilan sosial, dan kemandirian ekonomi, bukan sekadar pertumbuhan yang menguntungkan segelintir elit. Koperasi dan UMKM menjadi instrumen nyata untuk mewujudkan cita-cita tersebut karena keduanya tumbuh dari partisipasi rakyat, berorientasi pada kepentingan bersama, dan berpotensi besar dalam menciptakan lapangan kerja serta mengurangi kesenjangan sosial.
Namun, dalam praktik politik, narasi ekonomi kerakyatan seringkali tereduksi menjadi jargon kampanye. Janji untuk memperkuat koperasi, memberikan kredit lunak kepada UMKM, atau menciptakan ekosistem usaha yang adil sering hanya berhenti di atas kertas. Ketika masa pemilihan usai, perhatian terhadap sektor riil ini memudar, tergantikan oleh kepentingan politik dan proyek-proyek besar yang lebih menguntungkan pihak tertentu. Inilah yang disebut sebagai basa-basi politik—retorika tanpa realisasi.
Padahal, pemberdayaan koperasi dan UMKM bukan hanya urusan ekonomi, melainkan juga strategi politik yang beradab. Dengan memperkuat basis ekonomi rakyat, negara sesungguhnya sedang membangun kedaulatan ekonomi nasional dari bawah. Koperasi yang sehat dapat menjadi wadah demokrasi ekonomi yang nyata: setiap anggota memiliki hak suara, partisipasi dalam pengambilan keputusan, serta pembagian keuntungan yang adil. Begitu pula UMKM yang mandiri dapat menggerakkan ekonomi daerah, memperkuat ketahanan ekonomi nasional, dan mengurangi ketergantungan terhadap investasi asing.
Untuk keluar dari jebakan basa-basi politik, diperlukan kebijakan yang konsisten, bukan sesaat. Pemerintah harus menata ulang paradigma pembangunan ekonomi: dari yang berorientasi pada kapital besar menjadi berorientasi pada pemberdayaan rakyat. Akses pembiayaan murah, pendampingan manajemen, digitalisasi usaha, serta perlindungan hukum terhadap produk lokal harus dijalankan secara terintegrasi. Selain itu, partai politik dan lembaga legislatif perlu menjadikan ekonomi kerakyatan sebagai agenda perjuangan ideologis, bukan hanya alat pencitraan.
Dengan demikian, politik ekonomi kerakyatan berbasis koperasi dan UMKM akan memiliki makna sejati jika dijalankan dengan komitmen moral dan kebijakan nyata. Bukan lagi basa-basi di podium kampanye, tetapi menjadi gerakan kolektif yang menumbuhkan kemandirian, keadilan, dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.(Red)
