Tameng Identitas: Sikap Ketua POM Kalbar Soal Dugaan Korupsi PUPR Mempawah Disorot Publik

653

Pontianak || faktaperistiwanews.co – 4 Oktober 2025 – Pernyataan Ketua Persatuan Orang Melayu (POM) Kalimantan Barat, Agus Setiadi, dalam menanggapi kasus dugaan korupsi proyek PUPR Kabupaten Mempawah justru menambah keruh suasana. Tampil dengan baju khas Melayu, Agus dinilai publik tengah memainkan simbol identitas sebagai “tameng” untuk mengalihkan fokus dari substansi persoalan hukum yang menjerat nama Gubernur Kalbar, Ria Norsan.

Publik tidak melihat sikap Agus sebagai imbauan moral, melainkan sebagai gestur politik-kultural yang sarat pesan terselubung. Bagi banyak pihak, pilihan Agus mengenakan baju Melayu dalam momentum krusial itu bukanlah kebetulan. Pesan simbolik tersebut seolah menanamkan kesan bahwa kritik terhadap pejabat yang terjerat kasus identik dengan kritik terhadap komunitas Melayu. Cara ini dinilai publik berbahaya: menggeser isu korupsi menjadi isu etnisitas.

“Ini rasisme halus. Korupsi adalah kejahatan hukum, bukan soal suku. Mengaitkan penindakan hukum dengan identitas budaya hanya akan menimbulkan perpecahan,” ujar seorang pengamat sosial-politik di Pontianak.

Simbol Budaya Dijadikan Perisai

Korupsi, dalam pandangan publik, adalah extraordinary crime yang merusak sendi-sendi keadilan dan kesejahteraan. Karenanya, masyarakat menilai sangat tidak etis jika simbol budaya dipakai sebagai perisai kepentingan elit.

“Dugaan korupsi tidak ada hubungannya dengan identitas etnis. Kalau ada tokoh terseret, itu urusan pribadi dan harus dipertanggungjawabkan. Membawa simbol Melayu ke ranah hukum sama saja dengan manipulasi narasi. Ini bisa membelah masyarakat,” tegas pengamat tersebut.

Kritik itu kian menguat setelah foto Agus dengan baju Melayu beredar luas di media sosial dan portal berita. Publik pun menilai, alih-alih mendukung transparansi hukum, langkah Agus justru dipersepsikan sebagai pembelaan terselubung terhadap Gubernur Ria Norsan yang disebut dalam pusaran kasus PUPR Mempawah.

Publik dan Mahasiswa Menolak “Tameng Identitas”

Gelombang penolakan publik terlihat jelas di ruang digital. Kolom komentar di media sosial dipenuhi kritik tajam terhadap Agus.

“Korupsi itu musuh bersama. Jangan lindungi dengan tameng identitas. Kalau memang tidak bersalah, biarkan hukum membuktikan. Tapi kalau terbukti bersalah, siapa pun orangnya harus dihukum. Jangan pakai simbol budaya untuk lindungi kepentingan elit,” tulis seorang aktivis mahasiswa di akun medianya.

Aksi mahasiswa di depan Mapolda Kalbar yang menuntut KPK menuntaskan kasus ini semakin menegaskan sikap publik: suara rakyat tidak boleh dipadamkan dengan simbol kultural yang digunakan tidak pada tempatnya.

Bagi mahasiswa, langkah Agus bukanlah kearifan, melainkan manuver politik berbahaya. Mereka menilai sikap Ketua POM itu berpotensi menekan aparat penegak hukum dan menurunkan marwah budaya itu sendiri.

Kontroversi Pernyataan “BISA dan BIASA”

Dalam salah satu pernyataannya, Agus bahkan menyinggung kemungkinan pengerahan massa.

“Kami bisa dan biasa mengerahkan ribuan massa mahasiswa, pemuda, dan masyarakat akar rumput untuk menjawab ancaman seperti itu,” tegas Agus, merespons gelombang aksi mahasiswa.

Pernyataan ini memicu reaksi keras. Publik menilai, sikap demikian justru mencederai semangat demokrasi yang menjunjung kebebasan berpendapat. Mahasiswa menilai, ancaman pengerahan massa adalah bentuk tekanan terhadap aparat hukum yang berbahaya bagi proses penegakan hukum itu sendiri.

Kritik dari Masyarakat Melayu

Sorotan tajam tak hanya datang dari kalangan mahasiswa, tetapi juga dari tokoh masyarakat Melayu sendiri.

Salah seorang tokoh masyarakat Melayu di Jalan Tanjung Raya 1, Pontianak Timur, Burhanudin, menilai tindakan Agus tidak bijak.

“Penggunaan simbol-simbol kelompok tertentu untuk menekan dan membungkam masyarakat yang berbeda pandangan oleh Ketua POM Kalbar Agus Setiadi sangatlah tidak bijak dan justru menurunkan marwah dari simbol yang merasa diwakilinya. Kami sangat menyayangkan sikap Agus Setiadi yang seolah menampilkan sikap pasang badan. Kami selaku anggota masyarakat di Pontianak Timur merasa tidak pernah mewakilkan pandangan hukum kepada Agus Setiadi hanya karena kebetulan memiliki kesamaan kelompok,” tegas Burhanudin.

Ia menambahkan, kasus yang menjerat Gubernur Kalbar, Ria Norsan, merupakan persoalan hukum yang sedang berproses di KPK. “Itu menjadi konsumsi publik yang bebas dinilai dari berbagai sudut pandang. Mahasiswa berunjuk rasa juga merupakan hak mereka sebagai warga negara, sepanjang dilakukan damai. Tidak ada pihak yang berhak melarang.”

Bahasa “Dugaan” Jangan Jadi Celah

Praktisi hukum di Kalbar juga menilai narasi Agus berbahaya. Pers memang wajib menggunakan istilah “dugaan korupsi” sesuai dengan prinsip praduga tak bersalah. Namun, istilah tersebut tidak boleh dijadikan ruang abu-abu untuk melemahkan semangat pemberantasan korupsi.

“Bahasa ‘dugaan’ bukan berarti kasus ini ringan. Itu adalah bagian dari etika jurnalistik. Tetapi kalau indikasi kuat sudah ada dan proses hukum sedang berjalan, tokoh masyarakat tidak boleh tampil sebagai benteng pertahanan. Publik ingin melihat sikap tegas: mendukung KPK, bukan melindungi pejabat,” ujar seorang pemerhati hukum di Pontianak.

Penutup: Keadilan Harus Berdiri di Atas Hukum, Bukan Identitas

Kasus dugaan korupsi PUPR Mempawah yang menyeret nama Gubernur Ria Norsan kini menjadi perhatian nasional. Publik mengirim pesan tegas: hukum tidak boleh dikaburkan oleh permainan identitas.

“Simbol budaya jangan dijadikan perisai bagi korupsi. Keadilan harus tegak di atas fakta hukum, bukan di atas baju adat,” kata seorang tokoh pemuda di Pontianak.

Gelombang aspirasi publik ini menunjukkan satu hal: masyarakat Kalbar menolak keras segala bentuk “tameng identitas”. Korupsi adalah kejahatan kolektif yang merugikan rakyat, dan siapa pun pelakunya harus diproses hukum tanpa pandang bulu.

Tim Redaksi