Rusia dan China di Mata Donald Trump Oleh : Dede Farhan Aulawi

585

Bandung || faktaperistiwanews.co – Hubungan Amerika Serikat dengan Rusia dan China selalu menjadi dua poros utama dalam dinamika geopolitik global. Di masa kepemimpinan Donald J. Trump (2017–2021), persepsi dan kebijakannya terhadap kedua negara ini menggambarkan kombinasi antara pragmatisme ekonomi, nasionalisme politik, dan gaya diplomasi yang sering kali tidak konvensional. Pandangan Trump terhadap Rusia dan China tidak hanya mencerminkan strategi luar negeri Amerika Serikat, tetapi juga mencerminkan cara pandang personalnya terhadap kekuatan, kompetisi, dan kepentingan nasional.

Dalam pandangan Donald Trump, Rusia bukanlah musuh ideologis seperti pada era Perang Dingin, melainkan mitra potensial dalam menghadapi ancaman global lain seperti terorisme dan ekspansi ekonomi China. Trump secara terbuka menunjukkan kekaguman terhadap gaya kepemimpinan Vladimir Putin, yang dianggapnya “kuat, nasionalis, dan tegas.” Dalam berbagai pernyataan publik, Trump kerap memuji Putin sebagai sosok yang tahu cara “memimpin negaranya dengan efisien,” sesuatu yang menurutnya perlu dicontoh oleh para pemimpin Barat.

Namun demikian, kedekatan ini menimbulkan kontroversi besar di dalam negeri. Banyak pihak di Amerika Serikat menuduh Trump terlalu lembek terhadap Rusia, terutama terkait isu campur tangan Rusia dalam pemilu 2016. Meskipun Trump berulang kali menyangkal hubungan politik yang tidak sah dengan Moskow, persepsi publik tetap curiga bahwa pendekatannya terhadap Rusia lebih didorong oleh kepentingan pribadi dan bisnis dibanding strategi geopolitik murni.

Dari sisi kebijakan, Trump tidak benar-benar menghapus sanksi terhadap Rusia, tetapi ia juga tidak mendorong isolasi ekstrem seperti era Obama. Ia memilih pendekatan yang lebih “transaksional,” yaitu bekerja sama jika menguntungkan Amerika, dan berkonfrontasi jika perlu. Dalam konteks Suriah dan NATO, Trump beberapa kali menekan sekutu Eropa untuk menanggung lebih banyak beban keamanan, sementara ia tetap membuka jalur komunikasi langsung dengan Putin yang menunjukkan bahwa baginya, diplomasi personal lebih efektif daripada protokol formal.

Jika terhadap Rusia Trump cenderung bersikap ambigu, terhadap China ia menunjukkan konfrontasi terbuka. Sejak masa kampanye 2016, Trump menuduh China melakukan praktik perdagangan yang tidak adil, mencuri kekayaan intelektual Amerika, serta memanipulasi mata uang untuk keuntungan ekspor. Pandangan ini menjadi dasar dari perang dagang AS–China yang berlangsung sepanjang masa pemerintahannya.

Trump memandang China sebagai ancaman utama bagi supremasi ekonomi Amerika Serikat. Ia menilai bahwa industrialisasi cepat dan ekspansi global Beijing melalui inisiatif Belt and Road adalah bentuk dominasi ekonomi yang mengancam kedaulatan pasar bebas Amerika. Kebijakan tarif tinggi terhadap impor China, pembatasan teknologi seperti pada perusahaan Huawei, serta dorongan agar perusahaan Amerika memindahkan pabrik dari China ke dalam negeri, menjadi bentuk nyata dari visinya: “Make America Great Again” juga berarti mengurangi ketergantungan terhadap China.

Namun, di sisi lain, Trump tetap memelihara komunikasi dengan Presiden Xi Jinping, terutama dalam isu Korea Utara dan pandemi COVID-19. Meski retorikanya keras, Trump masih memandang hubungan ekonomi dengan China sebagai sesuatu yang bisa dinegosiasikan selama ada “keuntungan nyata” bagi Amerika. Inilah ciri khas diplomasi Trump yang tidak berlandaskan ideologi, tetapi pada prinsip untung-rugi.

Perbandingan Pandangan Trump terhadap Rusia dan China

Secara garis besar, Trump melihat Rusia sebagai rival politik yang bisa diajak bernegosiasi, sedangkan China sebagai rival ekonomi yang harus dilawan. Terhadap Rusia, ia lebih bersifat personal dan diplomatis; terhadap China, ia lebih agresif dan proteksionis. Pandangan ini menunjukkan bahwa bagi Trump, ancaman terbesar bagi dominasi Amerika bukanlah kekuatan militer (seperti Rusia), melainkan kekuatan ekonomi yang menyaingi pasar global Amerika (seperti China).

Selain itu, pendekatan Trump terhadap kedua negara mencerminkan politik realisme klasik, dunia adalah arena kompetisi kekuatan, dan setiap negara harus memaksimalkan kepentingannya sendiri. Tidak ada teman atau musuh abadi, hanya kepentingan yang abadi. Prinsip inilah yang membuat kebijakan luar negeri Trump sering tampak tidak konsisten di mata pengamat, tetapi justru efektif dalam menarik simpati sebagian warga Amerika yang merasa dirugikan globalisasi.

Jadi, pandangan Donald Trump terhadap Rusia dan China merupakan cerminan dari strategi luar negeri berbasis nasionalisme ekonomi dan realisme politik. Ia melihat Putin sebagai sosok yang kuat dan bisa diajak bekerja sama, sementara Xi Jinping sebagai pesaing utama yang harus dihadapi secara frontal. Meskipun kebijakannya menuai kritik karena dianggap merusak tatanan diplomasi tradisional, gaya Trump berhasil menyoroti satu hal penting bahwa kekuatan global abad ke-21 tidak lagi ditentukan oleh ideologi, tetapi oleh keseimbangan antara kekuasaan, ekonomi, dan kepentingan nasional.
Dengan demikian, di mata Donald Trump, Rusia adalah mitra potensial dalam dunia yang penuh kompetisi, sementara China adalah tantangan terbesar yang menguji ketahanan ekonomi dan kebanggaan Amerika.(Red)