Rusaknya Sistem Demokrasi Akibat Praktik Politik Transaksional Oleh : Dede Farhan Aulawi

Bandung || faktaperistiwanews.co – Demokrasi idealnya merupakan sistem pemerintahan yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Prinsip “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” menjadi landasan utama dalam penyelenggaraan negara. Namun, dalam praktiknya, demokrasi sering kali terdistorsi oleh kepentingan-kepentingan pragmatis, terutama melalui praktik politik transaksional yang kian mengakar di berbagai lini kehidupan politik. Fenomena ini perlahan tapi pasti menggerogoti esensi demokrasi, mengubahnya menjadi sekadar formalitas tanpa makna substantif.

Pada dasarnya, demokrasi bertujuan menciptakan pemerintahan yang transparan, akuntabel, dan berpihak pada kepentingan rakyat banyak. Namun, dalam sistem politik yang transaksional, nilai-nilai luhur ini berubah menjadi komoditas. Jabatan politik bukan lagi sarana pengabdian, melainkan investasi yang diharapkan mendatangkan keuntungan pribadi. Proses politik yang seharusnya rasional dan berbasis gagasan akhirnya tereduksi menjadi transaksi ekonomi, di mana dukungan politik diperjualbelikan.

Praktik politik transaksional dapat muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari politik uang (money politics), jual beli jabatan, hingga bagi-bagi proyek dan anggaran. Pada masa pemilu, fenomena serangan fajar menjadi gambaran nyata bagaimana suara rakyat dapat ditukar dengan sejumlah uang atau barang. Setelah terpilih, pejabat publik sering kali merasa “berutang” kepada penyandang dana, sehingga kebijakan publik lebih berpihak pada kepentingan kelompok tertentu dibanding kesejahteraan masyarakat luas.

Politik transaksional memiliki dampak destruktif yang luas terhadap sistem demokrasi. Pertama, ia mengikis kepercayaan publik terhadap lembaga politik. Rakyat merasa bahwa partisipasi politiknya tidak lagi bermakna karena hasil pemilihan ditentukan oleh uang, bukan oleh gagasan atau integritas. Kedua, praktik ini menghambat lahirnya pemimpin berkualitas, sebab mereka yang jujur dan idealis kerap kalah oleh kandidat bermodal besar. Ketiga, politik transaksional melahirkan korupsi struktural, di mana jabatan digunakan untuk mengembalikan modal politik dan memperkaya diri.

Rusaknya demokrasi akibat politik transaksional tidak muncul secara tiba-tiba. Ia berakar pada beberapa faktor, seperti lemahnya pendidikan politik masyarakat, tingginya biaya politik, rendahnya integritas partai, dan budaya patronase yang masih kuat. Ketika rakyat belum memahami hakikat demokrasi sejati, mereka mudah terjebak dalam iming-iming materi jangka pendek. Di sisi lain, sistem kepartaian yang belum transparan mendorong kandidat untuk mencari sponsor finansial besar yang berujung pada kompromi politik.

Menyelamatkan demokrasi dari cengkeraman politik transaksional memerlukan reformasi menyeluruh. Pertama, pendidikan politik rakyat harus diperkuat agar masyarakat memahami nilai suara mereka. Kedua, biaya politik perlu ditekan melalui pembatasan dana kampanye yang ketat dan transparansi pendanaan partai. Ketiga, penegakan hukum terhadap pelaku politik uang harus dilakukan secara konsisten tanpa pandang bulu. Selain itu, partai politik perlu kembali pada jati diri sebagai lembaga kaderisasi dan pendidikan politik, bukan sekadar mesin elektoral.

Demokrasi sejati hanya dapat tumbuh dalam iklim politik yang bersih, rasional, dan berkeadilan. Ketika politik telah berubah menjadi arena transaksi, maka demokrasi kehilangan maknanya sebagai sistem yang memperjuangkan kehendak rakyat. Oleh karena itu, seluruh elemen bangsa, baik pemerintah, partai politik, masyarakat sipil, dan media harus berani melawan praktik politik transaksional demi mengembalikan marwah demokrasi yang beradab dan bermartabat.(Red)