Rekayasa Energi dan Air Berkelanjutan pada Bangunan Gedung, Langkah Nyata Masa Depan Hijau Oleh : Dede Farhan Aulawi

Bandung || faktaperistiwanews.co – Di tengah krisis iklim global, sektor konstruksi menjadi salah satu penyumbang emisi karbon terbesar di dunia. Bangunan gedung menyumbang sekitar 40% konsumsi energi global dan hampir 30% emisi gas rumah kaca, menurut data dari World Green Building Council. Untuk mengatasi tantangan ini, rekayasa energi dan air berkelanjutan menjadi solusi penting dalam menciptakan bangunan yang ramah lingkungan dan efisien sumber daya.

Rekayasa energi berkelanjutan bertujuan untuk mengurangi konsumsi energi konvensional serta memanfaatkan sumber energi terbarukan. Salah satu pendekatan utamanya adalah bangunan net-zero energy, yaitu bangunan yang menghasilkan energi sebanyak yang dikonsumsinya dalam setahun.
Beberapa teknologi utama dalam rekayasa energi meliputi :

  • Panel surya fotovoltaik untuk menghasilkan listrik dari sinar matahari.
  • Sistem manajemen energi pintar (smart building) yang mengatur penggunaan listrik secara efisien berdasarkan data dan sensor.
  • Isolasi termal dan desain pasif (seperti ventilasi silang dan orientasi bangunan) yang mengurangi kebutuhan pendingin atau pemanas.
  • Pencahayaan alami yang dioptimalkan melalui desain arsitektur seperti skylight dan jendela berlapis rendah-E.

Dengan mengintegrasikan berbagai sistem tersebut, bangunan bukan hanya menjadi hemat energi, tetapi juga bisa menyuplai energi ke jaringan (grid), memperkuat ketahanan energi nasional.

Di samping energi, air juga merupakan sumber daya vital yang semakin langka. Rekayasa air berkelanjutan pada bangunan bertujuan untuk meminimalkan penggunaan air bersih dan memaksimalkan pemanfaatan ulang air. Langkah-langkah yang bisa dilakukan antara lain :

  • Penggunaan sistem air hujan (rainwater harvesting) untuk kebutuhan non-potable seperti penyiraman taman dan flushing toilet.
  • Sistem greywater recycling yang mendaur ulang air dari wastafel dan shower untuk keperluan lain.
  • Perlengkapan hemat air seperti keran aerator dan toilet dual-flush.
  • Green roof dan permeable paving, yang membantu penyerapan air hujan dan mengurangi limpasan permukaan.

Sistem ini tidak hanya menghemat air, tetapi juga mengurangi beban sistem drainase kota dan risiko banjir di area urban.

Tantangan dan Peluang di Indonesia
Di Indonesia, penerapan prinsip bangunan hijau mulai berkembang, terutama dengan adanya sertifikasi Greenship dari Green Building Council Indonesia (GBCI). Namun, tantangan masih besar, seperti :

  • Biaya awal pembangunan yang relatif lebih tinggi.
  • Kurangnya kesadaran dan regulasi ketat di daerah.
  • Keterbatasan tenaga ahli di bidang rekayasa lingkungan bangunan.

Meski demikian, peluangnya juga luas, teknologi makin terjangkau, masyarakat makin sadar akan isu lingkungan, dan pemerintah mulai memberikan insentif untuk pembangunan hijau.

Dengan demikian, rekayasa energi dan air berkelanjutan dalam bangunan bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Di masa depan, bangunan tidak hanya menjadi tempat tinggal atau bekerja, tetapi juga bagian dari solusi iklim. Dengan kolaborasi antara arsitek, insinyur, pengembang, dan pemerintah, kita bisa menciptakan lingkungan binaan yang harmonis dengan alam, hemat sumber daya, dan layak huni untuk generasi mendatang. (Red)