PETI Menggila di Sanggau, Sungai Kapuas Rusak Parah: Oknum APH Diduga Jadi Beking

SANGGAU || faktaperistiwanews.co – Aktivitas Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di aliran Sungai Kapuas, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, terus merajalela. Mesin dompeng beroperasi terang-terangan, merkuri dibuang tanpa kendali, dan ekosistem sungai rusak berat. Ironisnya, dugaan keterlibatan oknum aparat penegak hukum (APH) dalam aktivitas tambang ilegal ini justru makin santer terdengar di tengah masyarakat.

Beberapa titik di sepanjang Sungai Kapuas kini didominasi aktivitas tambang ilegal yang leluasa bekerja tanpa rasa takut. Masyarakat menyebut nama-nama aparat yang diduga menjadi ‘koordinator lapangan’ PETI dan menerima setoran rutin dari cukong tambang. Sementara itu, Polres Sanggau bungkam dan tak menunjukkan aksi nyata, seolah membenarkan kecurigaan publik.

Kondisi ini sangat bertolak belakang dengan pernyataan tegas Kapolda Kalbar Irjen Pol Pipit Rismanto, S.I.K., M.H., yang sebelumnya menegaskan bahwa pihaknya tidak akan mentolerir perusakan lingkungan. “Kami akan tindak tegas siapa pun yang terlibat dalam PETI, termasuk aktor intelektual dan pelindungnya. Penegakan hukum harus tegas dan tidak pandang bulu,” tegas Kapolda dalam beberapa kesempatan kepada media.

Pernyataan tersebut diperkuat oleh Kabag Wassidik Ditreskrimsus Polda Kalbar, AKBP Ahmad Munjahid, SH, saat merespons aksi unjuk rasa Barisan Pemuda Melayu (BPM) di Mapolda Kalbar. Ia menyampaikan bahwa polisi tidak akan berhenti pada penambang kecil. “Kita tidak hanya akan menindak pekerja PETI, tapi kita akan usut tuntas cukongnya dan akan kita tindak sesuai dengan ketentuan hukum,” ujarnya.

Namun sayangnya, hingga kini belum ada satupun cukong besar atau aparat yang ditindak. Hanya pekerja tambang kelas bawah yang sesekali diamankan. Hal ini membuat publik mempertanyakan keseriusan aparat dalam membersihkan tambang ilegal, dan menimbulkan kesan bahwa penegakan hukum hanya bersifat seremonial.

Sementara itu, kerusakan Sungai Kapuas kian parah. Limbah merkuri dan sedimen tambang mencemari air sungai yang menjadi sumber kehidupan masyarakat. Ikan-ikan menghilang, air tak lagi bisa diminum, dan penyakit mulai menjangkiti warga sekitar. Sungai yang dulu menjadi urat nadi ekonomi kini berubah menjadi ancaman kesehatan.

Pelaku PETI sejatinya melanggar Pasal 158 UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba, dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara dan denda hingga Rp 100 miliar. Mereka juga dijerat UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang menghukum perusak lingkungan dengan penjara maksimal 10 tahun. Oknum aparat yang terlibat bisa dikenai pasal gratifikasi dan penyalahgunaan wewenang berdasarkan UU Tipikor dan KUHP.

Aktivis lingkungan dan masyarakat adat kini angkat suara. Mereka menilai upaya aparat selama ini hanya “panggung pencitraan”. Desakan kepada Kapolri pun menguat agar membentuk tim independen turun langsung ke Sanggau dan mengaudit total struktur kepolisian di wilayah tersebut. “Jika Polri ingin bersih, bersihkan dulu yang di Kalbar. Jangan biarkan mafia tambang berlindung di balik seragam,” tegas seorang aktivis lingkungan dari Sintang.

Sungai Kapuas sedang sekarat, dan masyarakat Kalbar tidak butuh janji lagi. Yang dibutuhkan saat ini adalah keberanian untuk menindak tegas para pelaku utama, para cukong, dan para pelindung berbaju aparat. Jika tidak, maka pencemaran, ketidakadilan, dan kehancuran lingkungan akan terus dibiarkan berlangsung atas nama pembiaran…

Tim investigasi….