Permasalahan Partai Politik yang Semakin Menjauh dari Harapan Rakyat Oleh : Dede Farhan Aulawi

Bandung || faktaperistiwanews.co – Partai politik pada hakikatnya merupakan pilar utama demokrasi. Ia berfungsi sebagai jembatan antara rakyat dengan negara, sarana artikulasi kepentingan publik, serta wadah kaderisasi pemimpin bangsa. Namun, dalam kenyataannya, banyak partai politik di Indonesia justru mengalami krisis kepercayaan dari rakyat. Fenomena ini menandakan adanya jarak yang semakin lebar antara idealisme politik dan realitas praktik kekuasaan.

Salah satu permasalahan utama adalah menurunnya moralitas dan integritas politik. Banyak kader partai yang terjerat kasus korupsi, penyalahgunaan wewenang, hingga politik uang dalam setiap kontestasi pemilu. Rakyat pun melihat bahwa partai tidak lagi menjadi pengawal kepentingan publik, melainkan alat perebutan kekuasaan dan keuntungan pribadi. Ketika politik transaksional menjadi budaya, kepercayaan rakyat terhadap partai pun semakin terkikis.

Selain itu, partai politik cenderung elitis dan tidak partisipatif. Proses pengambilan keputusan sering kali didominasi oleh segelintir elit partai tanpa mendengarkan aspirasi akar rumput. Demokrasi internal partai yang lemah membuat regenerasi kepemimpinan mandek, karena jabatan strategis sering diwariskan berdasarkan kedekatan, bukan kompetensi. Akibatnya, partai menjadi organisasi tertutup yang kehilangan daya tarik bagi generasi muda idealis.
Permasalahan lain terletak pada minimnya gagasan dan visi ideologis. Banyak partai lebih fokus pada strategi elektoral jangka pendek ketimbang perjuangan nilai. Platform politik yang seharusnya menjadi identitas perjuangan rakyat berubah menjadi sekadar slogan kampanye. Hal ini memperparah persepsi masyarakat bahwa partai tidak memiliki arah perjuangan yang jelas dan tidak berbeda satu sama lain.

Kondisi ini semakin diperparah dengan ketergantungan partai terhadap pendanaan besar. Biaya politik yang tinggi mendorong munculnya praktik pragmatisme. Kandidat yang memiliki modal finansial lebih besar cenderung mudah mendapatkan tiket politik, meskipun minim kapasitas dan komitmen moral. Ketika politik dibiayai oleh uang, maka kebijakan publik pun rentan dikendalikan oleh kepentingan pemodal.
Untuk mengembalikan kepercayaan rakyat, partai politik harus berani melakukan reformasi struktural dan moral. Diperlukan transparansi keuangan, seleksi kader berbasis meritokrasi, serta pendidikan politik yang berkelanjutan. Partai harus kembali menjadi sekolah kepemimpinan rakyat, bukan sekadar kendaraan elektoral. Di sisi lain, masyarakat pun perlu lebih kritis dan aktif mengawal perilaku politik wakilnya.

Dengan demikian, krisis kepercayaan terhadap partai politik bukanlah akhir dari demokrasi, melainkan peringatan untuk berbenah. Ketika partai kembali berpihak pada nurani rakyat, menjalankan fungsi representatif dengan jujur dan terbuka, maka harapan rakyat terhadap politik yang bersih dan bermartabat bukan lagi sekadar utopia, melainkan cita-cita yang bisa diwujudkan bersama.(Red)