KETAPANG || faktaperistiwanews.co —
Ketenangan bumi Ketapang yang selama ini dijaga dengan nilai-nilai persaudaraan, mendadak terusik oleh pernyataan panas seorang advokat.
Dalam video yang beredar luas di media sosial, advokat tersebut secara terbuka menyebut identitas suku dari klien yang ia dampingi dalam kasus dugaan pemukulan terhadap seorang satpam perusahaan.
Lebih dari sekadar pembelaan, ia bahkan melontarkan ancaman: bila pelaku tidak ditangkap dalam 3×24 jam, maka “suku tersebut akan bertindak.”
Nada suaranya tegas, penuh emosi, dan sarat tekanan — namun juga menebar bara yang bisa membakar harmoni sosial.
Publik pun geram.
Sebab ucapan semacam itu tidak hanya tidak pantas, tapi berpotensi memecah belah dan mencederai marwah profesi advokat itu sendiri.
Profesi Mulia Tak Layak Dipakai Untuk Provokasi
Dalam sistem hukum, advokat bukan pengobar amarah — ia adalah officium nobile, profesi mulia yang menegakkan hukum dengan nalar dan integritas.
Namun kali ini, seorang advokat justru tampak menjadikan identitas suku sebagai tameng emosional pembelaan.
“Advokat itu seharusnya memadamkan api, bukan menyiramkan bensin,” ujar seorang pemerhati hukum di Ketapang.
Indonesia adalah bangsa majemuk.
Kata-kata berbau SARA, sekecil apapun, bisa menjadi bara yang menyala cepat.
Dan ketika diucapkan oleh seorang penegak hukum, bara itu bisa menjalar menjadi api perpecahan.
Kode Etik Advokat: Bukan Sekadar Formalitas
Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI) dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat menegaskan:
setiap advokat wajib menjaga kehormatan, integritas, dan profesionalitas dalam menjalankan tugasnya.
Pasal 4 huruf (a) berbunyi:
“Advokat wajib menjunjung tinggi hukum, kebenaran, dan keadilan serta bertindak jujur, berintegritas, dan bertanggung jawab.”
Sementara Pasal 6 huruf (b) menegaskan:
“Advokat dilarang menggunakan cara-cara yang bertentangan dengan hukum atau moralitas untuk mempengaruhi proses hukum.”
Ucapan ancaman berbasis suku jelas melanggar kedua prinsip tersebut.
Itu bukan lagi ruang advokasi — itu penyimpangan etik dan potensi pelanggaran hukum.
SARA Adalah Api — Sekali Menyala, Sulit Dipadamkan
Ketapang selama ini dikenal damai, masyarakatnya hidup berdampingan lintas etnis dengan semangat gotong royong.
Pernyataan advokat itu seperti menusukkan pisau ke jantung harmoni sosial yang telah lama terbangun.
“Jangan rusak persaudaraan hanya karena emosi sesaat. Ini negeri hukum, bukan negeri ancaman,” tegas seorang tokoh adat Ketapang.
Di tengah situasi sosial yang rawan gesekan, pernyataan berbasis identitas adalah racun yang mengaburkan nalar keadilan.
Advokat Boleh Keras, Tapi Tak Boleh Mengancam
Seorang advokat memang boleh tegas membela kliennya.
Namun tegas bukan berarti mengancam.
Keras bukan berarti kasar.
Dan pembelaan bukan berarti menakut-nakuti aparat dengan kekuatan massa berbasis suku.
“Advokat bukan orator jalanan. Ia penegak hukum yang bicara dengan argumentasi, bukan agitasi,” ujar seorang dosen hukum di Pontianak.
Dewan Kehormatan Organisasi Advokat memiliki kewenangan untuk menindak pelanggaran etik semacam ini — mulai dari teguran keras, skorsing, hingga pencabutan izin praktik.
Sebab, ketika advokat kehilangan etikanya, keadilan kehilangan wibawanya.
Negara Hukum Tak Boleh Takluk Pada Tekanan Massa
Kasus pemukulan terhadap satpam adalah perkara pidana murni.
Penyelesaiannya harus berbasis hukum dan bukti, bukan identitas suku atau ancaman.
Menyeret nama kelompok atau etnis ke ranah hukum adalah langkah mundur dalam penegakan keadilan.
“Hukum itu bicara bukti, bukan suku. Bicara fakta, bukan fanatisme,” ujar seorang pengamat hukum di Kalbar.
Penutup: Saat Etika Ditinggalkan, Keadilan Kehilangan Arti
Pernyataan advokat yang membawa-bawa suku bukan bentuk pembelaan — itu provokasi yang menodai kehormatan profesi.
Keadilan tidak boleh digiring oleh tekanan.
Negara hukum berdiri karena logika, bukan karena ancaman.
“Ini bukan advokasi, ini bara api.”
Jika advokat tidak lagi berpegang pada etika, maka yang terbakar bukan hanya nama baiknya — tapi kepercayaan publik pada hukum itu sendiri.
Membela boleh, tapi jangan mengadu suku.
Berjuanglah dengan argumentasi, bukan intimidasi.
Karena keadilan hanya hidup di tangan mereka yang beretika.
Tim : redaksi